Panen saat Pandemi, Petani Porang di Wonogiri Ini Untung Rp 56 Juta
Murianews
Rabu, 18 Agustus 2021 17:08:32
MURIANEWS, Wonogiri — Masa Pandemi ternyata tak membuat semua orang terpuruk. Di Desa Ngambarsari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Wonogiri, seorang petani porang bernama Supriyanto berhasil meraup keuntungan hingga Rp 56 juta.
Awalnya, Supriyanto menanam porang di lahan seluas 2,5 hektare. Namun, pada tahun ini porang yang dipanen hanya di lahan seluas 1,5 hektare. Ini lantaran porang di lahan satu hektare lainnya itu belum layak panen. Karena bibitnya dari jenis katak, baru bisa dipanen setelah dua musim atau 16 bulan.
“Porang yang saya panen itu jenis bibitnya berbeda. Yang satu hektare dari bibit umbi mini, satu kilogram isi sepuluh buah. Yang setengah hektare dari umbi katak, tapi menanamnya sudah lama dan sudah berusia dua musim,” kata dia seperti dikutip
Solopos.com, Rabu (18/8/2021).
Di lahan 1,5 hektare itu, kata dia, jumlah porang yang berhasil dipanen sekitar 14 ton. Sementara itu, harga satu kilogram porang saat ini sebesar Rp 7.300. Harga sebesar itu menurutnya sudah luar biasa.
Bagi sebagian orang yang baru mengenal porang dan hanya tahu euforianya saja, kata dia, harga sebesar itu dianggap anjlok atau hancur. Sebab pada tahun lalu harga porang mencapai Rp 12 ribu per kilogram. Menurutnya, harga pada tahun lalu itu anomali, tidak ada nilai kewajarannya karena terlalu tinggi.
“Bagi saya yang sudah bertani porang lama, harga segitu sudah istimewa, terlebih saat ini masih pandemi Covid-19. Harga Rp 7 ribu ke atas per kilogram itu sudah luar biasa. Karena pada 2016-2017, harga satu kilogram porang hanya Rp 2.500, tertinggi hanya Rp 3 ribu,” ungkap dia.
Menurut Supriyanto, satu kilogram porang dihargai Rp 5 ribu saja petani sudah mendapat untung. Berdasarkan perhitungan, satu pohon porang itu mengeluarkan modal Rp 3 ribu. Biaya itu mencakup pembelian bibit, perawatan, penen hingga sewa lahan.
Jika satu batang porang berat umbinya satu kilogram, maka satu pohon porang bisa menghasilkan Rp 7.300. Padahal, umbi yang dipanen Supriyanto rata-rata memiliki berat 1,5 kilogram hingga dua kilogram. Sehingga satu pohon bisa menghasilkan Rp 10 ribu hingga Rp 14 ribu.“Katakanlah biaya transportasi untuk mengirim porang itu Rp 300, Jadi modal satu pohon hanya Rp 3.300. Ya kalau satu pohon minimal satu kilogram berarti satu pohon untungnya Rp 4.000. Jadi masih untung, euforia dan realita itu beda,” ujar anggota DPRD Wonogiri dari fraksi PDIP itu.Dengan begitu, jika hasil panen Supriyanto mencapai 14 ton dan setiap pohon untung Rp 4 ribu dengan berat umbi satu kilogram, maka keuntungan yang didapat mencapai Rp56 juta. Padahal, umbi bibit yang ia panen berkisar antara 1,5 kilogram hingga dua kilogram.Setelah panen, petani Wonogiri itu akan segera menanam porang kembali. Bahkan pada tahun ini lahan yang akan ditanami porang ditargetkan bisa mencapai lima hektare. Saat ini ia tengah mengumpulkan bibit. Dia lebih memilih bibit umbi mini untuk menanam porang tahun ini. Sebab ia mengejar perputaran panen agar lebih cepat. Umbi mini delapan bulan sudah bisa panen. Sedangkan umbi katak harus dua musim atau 16 bulan.“Saya panen ini selama sepuluh hari, hari ini [Rabu] terakhir. Pekerja saya lima orang. Hasil panen porang langsung dikirim ke pabrik Asia Prima Konjac, Caruban, Madiun, Jatim. Ini rata-rata petani di sini juga panen, lumayan setiap tiga hari ada satu rit truk,” kata Supriyanto.Penulis: SupriyadiEditor: SupriyadiSumber:
Solopos.com
[caption id="attachment_234482" align="alignleft" width="725"]

Petani porang Desa Ngambarsari, Kecamatan Karangtengah, Wonogiri, Supriyanto, saat memanen porang hasil budidayanya di desa setempat. (Istimewa)[/caption]
MURIANEWS, Wonogiri — Masa Pandemi ternyata tak membuat semua orang terpuruk. Di Desa Ngambarsari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Wonogiri, seorang petani porang bernama Supriyanto berhasil meraup keuntungan hingga Rp 56 juta.
Awalnya, Supriyanto menanam porang di lahan seluas 2,5 hektare. Namun, pada tahun ini porang yang dipanen hanya di lahan seluas 1,5 hektare. Ini lantaran porang di lahan satu hektare lainnya itu belum layak panen. Karena bibitnya dari jenis katak, baru bisa dipanen setelah dua musim atau 16 bulan.
“Porang yang saya panen itu jenis bibitnya berbeda. Yang satu hektare dari bibit umbi mini, satu kilogram isi sepuluh buah. Yang setengah hektare dari umbi katak, tapi menanamnya sudah lama dan sudah berusia dua musim,” kata dia seperti dikutip
Solopos.com, Rabu (18/8/2021).
Di lahan 1,5 hektare itu, kata dia, jumlah porang yang berhasil dipanen sekitar 14 ton. Sementara itu, harga satu kilogram porang saat ini sebesar Rp 7.300. Harga sebesar itu menurutnya sudah luar biasa.
Bagi sebagian orang yang baru mengenal porang dan hanya tahu euforianya saja, kata dia, harga sebesar itu dianggap anjlok atau hancur. Sebab pada tahun lalu harga porang mencapai Rp 12 ribu per kilogram. Menurutnya, harga pada tahun lalu itu anomali, tidak ada nilai kewajarannya karena terlalu tinggi.
“Bagi saya yang sudah bertani porang lama, harga segitu sudah istimewa, terlebih saat ini masih pandemi Covid-19. Harga Rp 7 ribu ke atas per kilogram itu sudah luar biasa. Karena pada 2016-2017, harga satu kilogram porang hanya Rp 2.500, tertinggi hanya Rp 3 ribu,” ungkap dia.
Menurut Supriyanto, satu kilogram porang dihargai Rp 5 ribu saja petani sudah mendapat untung. Berdasarkan perhitungan, satu pohon porang itu mengeluarkan modal Rp 3 ribu. Biaya itu mencakup pembelian bibit, perawatan, penen hingga sewa lahan.
Jika satu batang porang berat umbinya satu kilogram, maka satu pohon porang bisa menghasilkan Rp 7.300. Padahal, umbi yang dipanen Supriyanto rata-rata memiliki berat 1,5 kilogram hingga dua kilogram. Sehingga satu pohon bisa menghasilkan Rp 10 ribu hingga Rp 14 ribu.
“Katakanlah biaya transportasi untuk mengirim porang itu Rp 300, Jadi modal satu pohon hanya Rp 3.300. Ya kalau satu pohon minimal satu kilogram berarti satu pohon untungnya Rp 4.000. Jadi masih untung, euforia dan realita itu beda,” ujar anggota DPRD Wonogiri dari fraksi PDIP itu.
Dengan begitu, jika hasil panen Supriyanto mencapai 14 ton dan setiap pohon untung Rp 4 ribu dengan berat umbi satu kilogram, maka keuntungan yang didapat mencapai Rp56 juta. Padahal, umbi bibit yang ia panen berkisar antara 1,5 kilogram hingga dua kilogram.
Setelah panen, petani Wonogiri itu akan segera menanam porang kembali. Bahkan pada tahun ini lahan yang akan ditanami porang ditargetkan bisa mencapai lima hektare. Saat ini ia tengah mengumpulkan bibit. Dia lebih memilih bibit umbi mini untuk menanam porang tahun ini. Sebab ia mengejar perputaran panen agar lebih cepat. Umbi mini delapan bulan sudah bisa panen. Sedangkan umbi katak harus dua musim atau 16 bulan.
“Saya panen ini selama sepuluh hari, hari ini [Rabu] terakhir. Pekerja saya lima orang. Hasil panen porang langsung dikirim ke pabrik Asia Prima Konjac, Caruban, Madiun, Jatim. Ini rata-rata petani di sini juga panen, lumayan setiap tiga hari ada satu rit truk,” kata Supriyanto.
Penulis: Supriyadi
Editor: Supriyadi
Sumber:
Solopos.com