Kreatif! Wong Sragen Olah Biji Kapuk Randu jadi Minyak Goreng Alternatif, Sempat Diekspor ke Jepang
Murianews
Sabtu, 12 Maret 2022 17:43:31
MURIANEWS, Sragen- Biji kapuk randu atau dalam istilah Jawa disebut kletheng ternyata bisa diolah menjadi minyak goreng alternatif.
Salah satu orang yang sudah berhasil melakukannya adalah Sukarno (49), warga Dukuh Bunder RT 015, Desa Kedungwaduk, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Pengolahan klentheng menjadi minyak goreng alternatif ini bukan dilakukan ketika terjadi kelangkaan komoditas tersebut sejak beberapa pekan terakhir. Sukarno sudah memproduksi minyak goreng alternatif dari bahan klentheng ini sejak beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Keren, Kulit Kapuk Antarkan Siswa SMA PGRI 2 Kayen Raih Emas di ISIF 2020Dilansir dari
Solopos.com, usaha Sukarno semula adalah jualan kapuk randu untuk pembuatan bantal, guling, dan kasur. Ia mendatangkan kapuk-kapuk dari Ponorogo, Jawa Timur (Jatim).
Setiap pekan, Sukarno kulakan kapuk randu itu sampai empat ton. Bila stok kapuk randu di Ponorogo habis, Sukarno mengambil kapuk randu hingga ke Pati.
Ia sudah menjalani usaha ini selama 10 tahun terakhir. Di tengah perjalanan usaha itu ada permintaan klentheng dari Semarang. Biji klentheng itu kemudian dikumpulkan yang jumlahnya hingga lima kuintal.
“Setelah saya kirim klentheng ke Semarang, ternyata biji itu bisa diolah menjadi minyak. Kemudian saya coba-coba untuk usaha penyulingan minyak klentheng itu,” ujar Sukarno, Sabtu (12/3/2022).
Sukarno kemudian mencari mesin pengolah klentheng menjadi minyak. Ia mencari-cari di Facebook dan akhirnya pesan ke Muara Baru Jakarta. Sebenarnya barang tersebut dipesan dari Tiongkok.
Saat itu, Sukarno masih ingat harganya senilai Rp 42 juta per unit. Ia memesan dua unit. Mesin penyuling minyak klentheng itu masih dioperasionalkan sampai sekarang.
“Sekarang harga mesin itu bisa sampai Rp 80 juta per unit. Untuk motor penggeraknya saya menggunakan mesin truk Fuso. Satu mesin dioperasional satu orang. Dalam pengolahan minyak itu saya memiliki tiga karyawan, yakni dua operator mesin dan satu penyaring klentheng. Lima orang karyawan lainnya pengolah kapuk,” jelas Sukarno.
Dari dua unit mesin penyuling minyak klentheng itu, Sukarno bisa memproduksi 200 kg minyak per hari yang didapat dari sekitar 2.000 kg biji klenteng. Minyak itu dijual Rp 17.000/kg.
“Jadi minyak yang dihasilkan itu sekitar 20 persen dari total bahan biji klentheng. Selain menghasilkan minyak, mesin itu juga menghasilkan ampas klentheng yang bermanfaat untuk pakan ternak. Ampas klentheng itu pun sudah dipesan tiga pabrik dan pengiriman mencapai 8,5-9 ton per tiga pekan sekali dengan harga Rp 3.500/kg,” ujarnya.
[caption id="attachment_277664" align="alignleft" width="1890"]

Foto: Seorang pekerja menuangkan seember butiran biji klenteng ke bak penggilingan di tempat penyulingan minyak di Dukuh Bunder, Desa Kedungwaduk, Karangmalang, Sragen. (Solopos.com/Tri Rahayu)[/caption]
Sukarno sempat mengolah minyak klentheng itu menjadi minyak konsumsi masyarakat, yakni minyak goreng. Minyak klentheng itu harus melalui tiga kali proses penyaringan untuk bisa dimanfaatkan menjadi minyak goreng.
“Dulu memang inginnya dikembangkan untuk produk minyak goreng kemasan tetapi izinnya ternyata susah sehingga niatan itu saya urungkan dan memilih bermain di minyak curah,” jelasnya.
Dia menerangkan sekarang permintaan minyak klentheng itu bisa sampai enam ton per 35 hari dikirim ke Jakarta dan satu ton untuk permintaan pasar Magelang dan Semarang.“Minyak klentheng ini rasanya lebih gurih. Untuk pengawetan bakmi juga tidak berbau tengik sepertik minyak sawit. Saya pernah mencoba minyak itu untuk konsumsi sendiri dan rasanya lebih gurih dan tidak ada campuran sama sekali,” terangnya.
Sudah Diekspor ke JepangMinyak klentheng hasil produksi Sukarno ternyata sudah tembus pasar ekspor.Minyak goreng alternatif ini sempat diekspor ke Jepang sejak lima tahun terakhir.Namun, sejak tiga pekan terakhir saat terjadi sulitnya minyak goreng di Indonesia, ekspor ke Jepang dihentikan.Dia menjelaskan, produksi minyak itu sebenarnya sudah 10 tahun terakhir tetapi untuk ekspor ke Jepang baru lima tahun terakhir. Dia menyampaikan harga klentheng sekarang mahal sampai Rp 4.000/kg, padahal dulu hanya Rp 1.500-Rp 2.000/kg.“Permintaan ekspor ke Jepang itu rata-rata enam ton per 35 hari sekali. Dalam waktu itu, saya bisa memproduksi tujuh ton bila dua unit mesin penyuling klentheng menjadi minyak dioperasikan semua. Dalam sehari dua unit mesin itu bisa memproduksi dua ton klentheng, tetapi hasil minyaknya sekitar 20 persen atau sekitar 200 kg per selapan (35 hari),” ujarnya.Sukarno menyampaikan begitu minyak goreng sulit diperoleh berdampak pada kegiatan ekspor minyak klentheng ke Jepang yang dihentikan oleh Jakarta. Ekspor yang dirutin dilakukan sejak 2017, tetapi sejak tiga pekan terakhir ekspor ke Jepang dihentikan karena kebijakan di Jakarta.“Sekarang tinggal memenuhi pasar lokal saja, seperti Magelang dan Semarang. Seperti pelanggan kami di Semarang itu berapa pun pasokan minyaknya diterima. Pelanggan Magelang itu biasanya setiap tiga hari sekali berkunjung ke Sragen. Minyak klentheng ini lebih bagus daripada minyak sawit,” ujarnya.Dia berharap ada pengusaha yang bisa mengolah minyak klentheng ini menjadi minyak goreng yang dapat dinikmati masyarakat. Dia sendiri mengaku agak kerepotan kalau harus mengelola minyak klentheng menjadi minyak goreng.Dia menyebut bila menjadi minyak goreng harganya tinggi, bisa tembus Rp 20.000/liter. Penulis: Dani AgusEditor: Dani AgusSumber:
solopos.com
[caption id="attachment_277660" align="alignleft" width="1890"]

Foto: Pohon randu (sendokkayu.com)[/caption]
MURIANEWS, Sragen- Biji kapuk randu atau dalam istilah Jawa disebut kletheng ternyata bisa diolah menjadi minyak goreng alternatif.
Salah satu orang yang sudah berhasil melakukannya adalah Sukarno (49), warga Dukuh Bunder RT 015, Desa Kedungwaduk, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Pengolahan klentheng menjadi minyak goreng alternatif ini bukan dilakukan ketika terjadi kelangkaan komoditas tersebut sejak beberapa pekan terakhir. Sukarno sudah memproduksi minyak goreng alternatif dari bahan klentheng ini sejak beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Keren, Kulit Kapuk Antarkan Siswa SMA PGRI 2 Kayen Raih Emas di ISIF 2020
Dilansir dari
Solopos.com, usaha Sukarno semula adalah jualan kapuk randu untuk pembuatan bantal, guling, dan kasur. Ia mendatangkan kapuk-kapuk dari Ponorogo, Jawa Timur (Jatim).
Setiap pekan, Sukarno kulakan kapuk randu itu sampai empat ton. Bila stok kapuk randu di Ponorogo habis, Sukarno mengambil kapuk randu hingga ke Pati.
Ia sudah menjalani usaha ini selama 10 tahun terakhir. Di tengah perjalanan usaha itu ada permintaan klentheng dari Semarang. Biji klentheng itu kemudian dikumpulkan yang jumlahnya hingga lima kuintal.
“Setelah saya kirim klentheng ke Semarang, ternyata biji itu bisa diolah menjadi minyak. Kemudian saya coba-coba untuk usaha penyulingan minyak klentheng itu,” ujar Sukarno, Sabtu (12/3/2022).
Sukarno kemudian mencari mesin pengolah klentheng menjadi minyak. Ia mencari-cari di Facebook dan akhirnya pesan ke Muara Baru Jakarta. Sebenarnya barang tersebut dipesan dari Tiongkok.
Saat itu, Sukarno masih ingat harganya senilai Rp 42 juta per unit. Ia memesan dua unit. Mesin penyuling minyak klentheng itu masih dioperasionalkan sampai sekarang.
“Sekarang harga mesin itu bisa sampai Rp 80 juta per unit. Untuk motor penggeraknya saya menggunakan mesin truk Fuso. Satu mesin dioperasional satu orang. Dalam pengolahan minyak itu saya memiliki tiga karyawan, yakni dua operator mesin dan satu penyaring klentheng. Lima orang karyawan lainnya pengolah kapuk,” jelas Sukarno.
Dari dua unit mesin penyuling minyak klentheng itu, Sukarno bisa memproduksi 200 kg minyak per hari yang didapat dari sekitar 2.000 kg biji klenteng. Minyak itu dijual Rp 17.000/kg.
“Jadi minyak yang dihasilkan itu sekitar 20 persen dari total bahan biji klentheng. Selain menghasilkan minyak, mesin itu juga menghasilkan ampas klentheng yang bermanfaat untuk pakan ternak. Ampas klentheng itu pun sudah dipesan tiga pabrik dan pengiriman mencapai 8,5-9 ton per tiga pekan sekali dengan harga Rp 3.500/kg,” ujarnya.
[caption id="attachment_277664" align="alignleft" width="1890"]

Foto: Seorang pekerja menuangkan seember butiran biji klenteng ke bak penggilingan di tempat penyulingan minyak di Dukuh Bunder, Desa Kedungwaduk, Karangmalang, Sragen. (Solopos.com/Tri Rahayu)[/caption]
Sukarno sempat mengolah minyak klentheng itu menjadi minyak konsumsi masyarakat, yakni minyak goreng. Minyak klentheng itu harus melalui tiga kali proses penyaringan untuk bisa dimanfaatkan menjadi minyak goreng.
“Dulu memang inginnya dikembangkan untuk produk minyak goreng kemasan tetapi izinnya ternyata susah sehingga niatan itu saya urungkan dan memilih bermain di minyak curah,” jelasnya.
Dia menerangkan sekarang permintaan minyak klentheng itu bisa sampai enam ton per 35 hari dikirim ke Jakarta dan satu ton untuk permintaan pasar Magelang dan Semarang.
“Minyak klentheng ini rasanya lebih gurih. Untuk pengawetan bakmi juga tidak berbau tengik sepertik minyak sawit. Saya pernah mencoba minyak itu untuk konsumsi sendiri dan rasanya lebih gurih dan tidak ada campuran sama sekali,” terangnya.
Sudah Diekspor ke Jepang
Minyak klentheng hasil produksi Sukarno ternyata sudah tembus pasar ekspor.
Minyak goreng alternatif ini sempat diekspor ke Jepang sejak lima tahun terakhir.
Namun, sejak tiga pekan terakhir saat terjadi sulitnya minyak goreng di Indonesia, ekspor ke Jepang dihentikan.
Dia menjelaskan, produksi minyak itu sebenarnya sudah 10 tahun terakhir tetapi untuk ekspor ke Jepang baru lima tahun terakhir. Dia menyampaikan harga klentheng sekarang mahal sampai Rp 4.000/kg, padahal dulu hanya Rp 1.500-Rp 2.000/kg.
“Permintaan ekspor ke Jepang itu rata-rata enam ton per 35 hari sekali. Dalam waktu itu, saya bisa memproduksi tujuh ton bila dua unit mesin penyuling klentheng menjadi minyak dioperasikan semua. Dalam sehari dua unit mesin itu bisa memproduksi dua ton klentheng, tetapi hasil minyaknya sekitar 20 persen atau sekitar 200 kg per selapan (35 hari),” ujarnya.
Sukarno menyampaikan begitu minyak goreng sulit diperoleh berdampak pada kegiatan ekspor minyak klentheng ke Jepang yang dihentikan oleh Jakarta. Ekspor yang dirutin dilakukan sejak 2017, tetapi sejak tiga pekan terakhir ekspor ke Jepang dihentikan karena kebijakan di Jakarta.
“Sekarang tinggal memenuhi pasar lokal saja, seperti Magelang dan Semarang. Seperti pelanggan kami di Semarang itu berapa pun pasokan minyaknya diterima. Pelanggan Magelang itu biasanya setiap tiga hari sekali berkunjung ke Sragen. Minyak klentheng ini lebih bagus daripada minyak sawit,” ujarnya.
Dia berharap ada pengusaha yang bisa mengolah minyak klentheng ini menjadi minyak goreng yang dapat dinikmati masyarakat. Dia sendiri mengaku agak kerepotan kalau harus mengelola minyak klentheng menjadi minyak goreng.
Dia menyebut bila menjadi minyak goreng harganya tinggi, bisa tembus Rp 20.000/liter.
Penulis: Dani Agus
Editor: Dani Agus
Sumber:
solopos.com