Rabu, 19 November 2025


MURIANEWS, Sragen – Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Sragen mencatat hingga Senin (30/5/2022) malam kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menumpa hewan ternak di Sragen mencapai 82 kasus. Dari jumlah tersebut empat di antaranya mati dan tujuh lainnya dipotong untuk dikonsumsi.

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Sragen Rina Wijaya mengatakan, 82 kasus hewan ternak yang terpapat PMK tersebut tersebar di sebelas kecamatan.

Kesebelas yakni di wilayah Kecamatan Plupuh, Tanon, Karangmalang, Jenar, Sidoharjo, Sumberlawang, Miri, Ngrampal, Kalijambe, Gemolong, dan Kedawung.

“Dari total kasus PMK itu memang ada empat ekor sapi mati. Sapi-sapi yang mati ini merupakan sapi dengan umur masih kecil atau masih pedet sekitar empat bulan. Jadi anakan sapi menjadi riskan terhadap PMK ini. Keempat kasus kematian sapi akibat PMK ini berada di wilayah Desa Gading, Tanon,” katanya seperti dikutip Solopos.com.

Dia melanjutkan untuk sapi-sapi dewasa relatif bisa disembuhkan karena hingga sekarang sudah ada 13 ekor sapi yang sembuh, yakni di Plupuh, Tanon, Sumberlawang, dan Kedawung.

Rina menerangkan ada pula petani yang terpaksa memotong tujuh ekor sapi yang terserang virus PMK. Dia mengatakan sapi yang terjangkit dipotong itu tidak apa-apa dan dagingnya dikonsumsi juga tidak apa-apa karena PMK ini bukanlah penyakit zoonosis atau tidak menular ke manusia.

“Kalau dikonsumsi itu yang penting dagingnya. Selama dimasak dengan kematangan sempurna maka tidak berbahaya. Kalau empat ekor sapi yang mati itu tidak dipotong tetapi langsung dikubur,” jelas Rina.

Dia menjelaskan dengan banyaknya kasus PMK itu maka kebijakan penutupan pasar hewan menjadi penting dilakukan supaya penyakit tidak masuk ke Sragen.

Dia mengatakan kasus PMK itu merupakan kasus pendatang dari Ngawi dan Grobogan serta belakangan ada yang dari Boyolali.

“Bahkan yang dari Miri itu membeli sapi dari Nglangon. Artinya, di Pasar Hewan Nglangon itu sudah ada kasus PMK. Jadi beli satu ekor lalu menular ke sapi lainnya. Dengan kondisi seperti ini saya kira dokter-dokter hewan tidak berani mengeluarkan surat keterangan kesehatan hewan [SKKH]. Untuk pengawasan di kandang peternak, kami menggerakan mantri hewan untuk berkeliling,” jelasnya.Seorang pedagang sapi asal Nguwer, Sidoharjo, Sragen, Paryadi, 60, menyatakan tidak sependapat dengan penutupan pasar hewan karena mematikan penghasilan para pedagang sapi.Dia mengatakan kalau tutupnya hanya satu kali pasaran tidak masalah, ternyata tutupnya sampai tiga kali pasaran.“Kalau pasar hewan ditutup kami makan apa? Kami mengandalkan pendapatan dari pasar hewan, khususnya yang ada di Nglangon ini. Penutupan sampai 14 Juni itu kelamaan, tidak setuju saya. Suwe-suwe orang madhang [lama-lama tidak makan],” ujar Paryadi.Dia menerangkan persoalan PMK itu urusan mantri hewan kalau pedagang yang penting dagangan laku.Dia mengatakan pedagang tidak tahu menahu soal penyakit.“Semua hewan ada penyakitnya. Kalau tidak sembuh ya mati begitu saja. Penyakit hewan itu ada sudah lama. Jadi soal penyakit itu tidak berpengaruh pada jual beli sapi. Harga sapi itu tergantung barangnya,” jelas dia. Penulis: SupriyadiEditor: SupriyadiSumber: Solopos.com

Baca Juga

Komentar